Email : m.umar_arisandi@yahoo.com
Fb : Muhammad Umar Arisandi
Twitter : @UmarMoh
BBM : 7c2242c7
Line : arisandi_wcds
Instagram : @m.umar_arisandi

Senin, 16 November 2015

KRITISI BUKU“Kebudayaan Dan Waktu Senggang”

KRITISI BUKU KEBUDAYAAN DAN WAKTU SENGGANG (FRANSISKUS SIMON) OLEH Nama : Muhammad Umar Arisandi NIM : 4133111037 Kelas : Pendidikan Matematika C 2013 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2015 KRITISI BUKU“Kebudayaan Dan Waktu Senggang” Judul : Kebudayaan Dan Waktu Senggang Penulis : Fransiskus Simon Tahun Terbit : 2008 Tebal : 134 halaman Jumlah Bab : 5 Bab Penerbit : JalasutraYogyakarta Ukuran : 15 x 21 cm ISBN : 979-3684-95-X Daftar Isi Prakata Riwayat Singkat Pengantar Pendahuluan 1.Berbagai Pemahaman Tentang Kebudayaan Kebudayaan Dalam Pemahaman Para Pemikir Indonesia Kebudayaan Dalam Pemahaman Para Pemikir Barat Kemungkinan Lain Membaca Kebudayaan 2.Persoalan Krusial Kebudayaan Persoalan-Persoalan Intern Persoalan-Persoalan Ekstern 3. Kemungkinan Paradigma: Tiga Model Kebudayaan Sekilas Tentang C. A. van Peursen Model-Model Kebudayaan dari van Peursen atatan-Catatan 4. Waktu Senggang sebagai Dasar Kebudayaan Mengenal Josef Pieper Reposisi Waktu Senggang menurut Josef Pieper Pengertian Dasar dan Interlokutor Waktu Senggang Sifat Waktu Senggang: Perayaan dan Pembebasan Waktu Senggang Sebagai Kotemplasi Catatan-catatan 5. Waktu Senggang sebagai Strategi Kebudayaan Waktu Senggang: “Artes Liberales” Waktu Senggang: Kritik Kebudayaan Waktu Senggang: Proses Belajar dan Pemberadaban Poskrip: Suatu Panggilan Filsafati Catatan-catatan Daftar Pustaka Manusia dan Kebudayaannya merupakan wacana yang selalu menarik untuk didiskusikan. Hal ini tidak terlepas dari korelasi keduanya yang begitu erat dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Bagi manusia, kebudayaan merupakan mode of being dan mode of doing atas realitas kehidupan yang membuat manusia dalam budaya kolektif tertentu memiliki makna panutan baku untuk mencapai kesejahteraan yang berkesinambungan. Manusia adalah makhluk kritis dan kreatif. Dengan potensi kognitifnya manusia mampu mengubah segala sesuatu yang ada di sekitarnya menjadi lebih berarti dan sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Manusia sesungguhnya telah memiliki masalah dengan kebudayaannya sejak lahir ke dunia ini. Oleh sebab itu, berbagai upaya dilakukan manusia untuk memahami kebudayaannya baik secara empiris, genealogis, metaforis dengan melakukan kajian-kajian bidang kebudayaan dan telah menghasilkan pengertian-pengertian baru, yang bukan saja saling menyempurnakan namun adapula mendekonstruksi pengertian sebelumnya sehingga wacana kebudayaan seolah tidak kunjung tuntas. Manusia dan kebudayaannya memang merupakan salah satu permasalahan hidup yang kompleks, baik secara empiris maupun teoritis. Dari berbagai persoalan, wacana kebudayaan yang muncul tentunya menuntut strategi baru, konsekuensi atas proyek-proyek imaji manusia yang cenderung liar tidak terbendung. Persoalan inipun telah melahirkan hal-hal baru sebagai identitas budaya di zamannya masing-masing. Ketika mendengar istilah “waktu senggang”, mungkin tidak ada sesuatu yang istimewa di dalam benak kita. Istilah ini begitu sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, sehingga saking seringnya, barangkali, kita tidak memiliki asosiasi tertentu, selain momen jeda di luar dari rutinitas kerja sehari-hari. Jika di antara kita ada yang memiliki pemahaman seperti itu, kita perlu menyadari bahwa hal itu tidak lahir begitu saja, tapi terkait dengan evolusi panjang tentang bagaimana manusia mempersepsi waktu dari zaman ke zaman. Dalam kebudayaan pramodern, manusia belum mengenal istilah waktu senggang, karena bagi manusia zaman itu, waktu adalah totalitas yang belum terpecah menjadi unit-unit yang lebih kecil, seperti jam, menit, atau detik. Antara waktu, diri, dan semesta adalah koeksistensi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sehingga, tentang bagaimana cara manusia menghayati waktu --bersifat sebangun dengan bagaimana caranya menghayati diri dan dunianya. Waktu senggang melahirkan tatalaksana berbudaya. Didalamnya manusia tidak saja melakukan diskursus rasional tetapi merajut senarai nilai, tujuan, hakikat hidup, menggayut kedalaman batin, atau bernegosiasi untuk kepentingan kebersamaan. Sikap matang menggauli realitas secara meluas, terbuka, arif, dan keterpaduan untuk memahami persoalan. Waktu senggang adalah the art of silence, seni dalam diam yang tidak berarti membisu. Sikap diam yang merayakan. Berisi keterbukaan dan penegasan (Hal. 65). Waktu senggang menghidupi kerja dalam kesatuan makna, kreatifitas, inspirasi kritis terhadap diri, menyadari kemanunggalan hidup dalam dunia batin setiap diri, merajut kohesifitas diri berjejaring meraih kesejatian dalam proses pembelajaran berbudaya guna mencapai keadaban. Kehadiran waktu senggang mewadahi setiap orang memecahkan persoalan secara opend-mind, ragam paradigma diintegrasikan, kesalinghubungan yang kaya itu dirayakan untuk memeroleh kebaikan bersama (Hal. 99). Waktu senggang dengan demikian mensyaratkan hadirnya orang bebas yang tiada terhamba hedonisasi, tidak terjajah dan terkebiri oleh kuasa negara, ideologi dan agama. Ia perlu hadir dalam kebudayaan yang membebaskan agar supaya orang selalu memiliki peluang merefleksikan diri secara otonom dan tetap mampu berimajinasi, berintuisi dan merasa. Berebutlah demi sebuah waktu senggang yang didasari oleh kekuatan akal budi! Menarik untuk disimak karena Fransiskus Simon melalui bukunya yang berjudul “Kebudayaan dan Waktu Senggang”, mewacanakan perihal hubungan kebudayaan dengan waktu senggang. Arah pemikiran Fransiskus Simon dalam bukunya ini mencoba menarik kebudayaan dari pergumulan konseptualitasnya, kemudian mengajak para pembaca untuk memetakan, memahami dan memberi makna atas kebudayaan itu kembali. Dengan kata lain, arah dari penjabaran yang disampaikan dalam bukunya itu tidak bermaksud menumpas kebudayaan dalam konteks konseptualitas, melainkan untuk memperkaya perbendaharaan ide dan usul yang lebih representatif. Fransiskus Simon di awal bukunya secara struktural mengawali perbincangannya dengan membahas persoalan tentang pengertian kebudayaan sampai pada substansi pembahasan mengenai pemahaman baru kebudayaan. Dalam kaitan ini, beragam pemahaman kebudayaan yang diungkapkan dilihat dari ide-ide para pemikir di Indonesia maupun luar Indonesia yang dijabarkan sedemikian rupa dari berbagai konteks di zaman yang berbeda. Dari sejumlah pemahaman yang majemuk tersebut, Fransiskus Simon mengajak para pembaca menengok pemahaman kebudayaan yang telah ada. Pada zaman pra-modern, manusia memiliki pengalaman eksistensial pada makna kehidupan spiritualitas. Kekuatan alam semesta yang indah sekaligus menakutkan telah mengkonstruksikan budaya pemujaan manusia. Diri dihayati sebagai bagian dari kesemestaan, demikian pula sebaliknya. Sehingga refleksi dialog batin antara semesta dan dirinya termanifestasi dalam ritual. Sementara, makna hidup berbudaya pada manusia modern terletak pada pemikiran, analisis dan spekulatif. Keberadaan imaji audiovisual elektronik di zaman ini melahirkan keterpesonaan terhadap kecerdasan dan kekuasaan elektronik. Oleh karenanya, segala energi terserap oleh pesona eksisteorisitas hasrat dan imaji (kerja, belanja, mengonsumsi, dan traveling) sehingga ruang reflektivitas kurang menjangkau substansi budaya, melainkan bergeser menjadi dialog rasional tentang kemungkinan-kemungkinan pemahaman diskursif dan kesimpulannya. Walaupun identitas kebudayaan masing-masing zaman berbeda-beda, baik ketika zaman pra-modern maupun zaman modern, namun penekanan reflektivitas manusia berbudaya tetap tergantung pada ruang potensial yang disebut sebagai “waktu senggang”. Beragam masalah kebudayaan baik secara intern maupun ekstern dibahas pada Bab 2. Secara intern meliputi persoalan identitas, kebingungan dalam proses sejarah dan tradisi, ketidak-sadaran akan karakter fiktif, kesadaran diri dan kesenjangan antara visi ideal normatif tentang diri dengan realitas yang sulit, penyikapan paranoia ketika mendarat pada wilayah-wilayah pengalaman “perubahan”, ketegangan-ketegangan internal yang terjadi ketika menampilkan “diri” di hadapan “interlokutor-diri” pada perangkat pemahaman. Sedangkan secara ekstern, wacana kebudayaan mencangkup masalah : politik representasi multifaset, kemungkinan-kemungkinan dalam melakukan transaksi-transaksi kultural, identitas yang berkelanjutan, kebudayaan pada proses yang nomadik masa lampau, sebagai unsur-unsur pembentuk kesadaran, akar ketidak-sadaran nilai-nilai dan perilaku kolektif, kebudayaan sebagai sistem simbol yang telah menyingkapkan makna kehidupan dalam ruang dan waktu, serta kebudayaan sebagai rasionalitas khas yang telah membuat hidup manusia menjadi lebih dapat dipahami. Berdasarkan problematik, Fransiskus Simon membahas dan memahami kebudayaan dengan meminjam kerangka pikir Van Peursen sebagaimana dipaparkan pada bab 3. Sebelum menjelaskan waktu senggang, sebagai strategi kebudayaan Fransiskus Simon memperkenalkan pemahaman teknis terminologi strategi. Pokok-pokok gagasan Peursen ini oleh dipaparkannya kemudian ditransmisikan untuk memperoleh pemahaman baru tentang kebudayaan. Pada Bab 4, Fransiskus Simon mewacanakan waktu senggang sebagai unsur dasar dari kebudayaan. Pembahasan ini diawali dengan memperkenalkan Josef Pieper, kemudian melanjutkan dengan penjelasan reposisi waktu senggang sebagai unsur dasar dalam perspektif Josef Peiper. Setelah itu, Fransiskus Simon sang Penulis melanjutkan dengan menjabarkan dan menguraikan pengertian dasar “interlokutor waktu senggang”. Di tengah ruang waktu senggang menurutnya terdapat dimensi perayaan dan pembebasan dalam rangkaian “permainan” dan kreativitas imajinasi. Hal ini diperkuat oleh gagasan Gadamer tentang permainan sebagai mode of being. Berbeda halnya dengan waktu senggang yang berdimensi pembebasan, bagi Fransiskus Simon hal ini dianggap telah memberi ruang pada gagasan “pekerjaan intelektual”, yakni kontemplasi dan relevansinya bagi kebudayaan. Pada akhir Bab ini, Fransiskus Simon membahas peranan waktu senggang bagi kebudayaan. Fransiskus Simon yang terinspirasi pemikiran Pieper membicarakan fungsi waktu senggang sejalan dengan paradigma tindakan, yakni artes liberales, kritik kebudayaan, proses belajar, dan pemberadaban. Dengan pemahaman ini, Fransiskus Simon mengajak pembaca memandang kebudayaan sebagai proses rehumanisasi. Menarik untuk disimak karena peranan waktu senggang pada kebudayaan dianggap sangat penting. Pemikiran yang dipaparkan Simon pada Bab 3, Bab 4, dan Bab 5 merupakan acuan inspiratif, pokok pemikiran utama dari buku ini. Fransiskus Simon sebagai penulis buku ini menegaskan berbagai hal-hal khas pada kebudayaan dan persoalan terkait dengan waktu senggang. Waktu senggang di sini merujuk pada ranah yang mengandung beragam tantangan bagi pemilik intelektual, sehingga waktu senggang juga dipahami sebagai medan radikalisasi dan penajaman semua hal yang terpahami maupun sebaliknya. Dengan berwaktu senggang dan membiarkan diri tenggelam dalam samudra imajinatif sangat berpotensi menumbuhkan gagasan-gagasan baru yang menakjubkan, sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar para koreografer dalam proses melahirkan suatu karya seni baru ketika ujian tahap akhir (TA). Waktu senggang tidak selalu identik dengan menganggur dan kehilangan pekerjaan. Apalagi meningggalkan pekerjaan. Kebutuhan orang terhadap waktu senggang juga bukan semata-mata berorientasi tentang penjelasan terhadap cara kita beristirahat oleh karena kecapekan setelah seharian bekerja keras. Bukan juga cara bagaimana beristirahat yang baik melalui tips psikologis untuk mencapai kualitas istirahat dan menekan laju angka stres dalam bekerja. Waktu senggang adalah manifestasi kultural manusia yang dihidupi oleh bertumbuhkan dialektika akal budi merajut akar kemanusiaan dan kebebasan. Waktu senggang juga bukan semata habitat keindonesiaan tentang jagongan, ngerumpi, omong kosong bagi orang yang sedang tidak bekerja. Waktu senggang membuat medan sosial tersebut lebih bermakna filosofis daripada makna perayaan hedonistik. Mengapa demikian ? Waktu senggang yang dimaknai sebagai rekreasi telah terperangkap dalam dalil modernisme yang selalu dihubungkan dengan pekerjaan dan uang. Kualitas waktu senggang kemudian ditentukan oleh kesanggupan dalam membayar dengan sejumlah uang untuk rekreasi, menempati sebuah villa, menonton film, dan bisa saja menghadirkan orang untuk datang ke rumah untuk membantu mengajak tertawa karena waktu sudah sedemikian padat. Waktu bermanja, luang, santai, bahkan makna senggang hilang sebatas menjadi fungsi rekreatif yang ditempatkan sebagai terapi merefresh kondisi andrenalin oleh karena dikuras oleh rutinitas kerja. Pemerintah sendiri justru menempatkan area waktu senggang menjadi mobilisator ekonomi. Kebijakan libur/cuti bersama yang bertumpuk difungsikan sebagai parameter peningkatan pendapatan di bidang pariwisata. Watak ini masih jauh dari hamparan narasi inspiratif waktu senggang.

Minggu, 25 Mei 2014

ASAS-ASAS PENGELOLAAN LINGKUNGAN


ASAS-ASAS PENGELOLAAN LINGKUNGAN
1. Semua energi yang memasuki sebuah organisme hidup, populasi atau ekosistem dapat dianggap sebagai energi yang tersimpan atau terlepaskan. Energi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain tetapi tidak dapat hilang, dihancurkan ataudiciptakan.
Pengertian :
Asas ini adalah sebenarnya serupa dengan hukum termodinamika I, yang sangat fundamental dalam fisika. Asas ini dikenal sebagai hukum konservasi energi dalam persamaan matematika. Energi yang memasuki jasad hidup,populasi, atau ekosistem dapat dianggap energi yang tersimpan atau terlepaskan. Dalam hal ini sistem kehidupan dapat dianggap sebagai pengubah energi, dan berarti pula akan didapatkan berbagai strategi untuk mentransformasi energi.

2. Tak ada sistem pengubahan energi yang betul-betul efisien.
Pengertian :
Asas ini tak lain adalah hukum thermodinamika kedua, ini berarti energi yang tak pernah hilang dari alam raya, tetapi energi tersebut akan terus diubah dalam bentuk yang kurang bermanfaat., atau berenang terbuang tanpa guna.

3. Materi, energi, ruang, waktu, dan keanekaragaman, semuanya termasuk kategori sumberdayaalam.
Pengertian :
Memang jelas dalam asas kimia, bahwa pengubahan energi oleh sistem biologi harus berlangsung pada kecepatan yang sebanding dengan adanya materi dan energi di lingkungannya. Pengaruh ruang secara asas adalah beranalogi dengan materi dan energi sebagai sumber alam.

4. Untuk semua kategori sumber alam, kalau pengadaanya sudah mencapai optimum, pengaruh unit kenaikannya sering menurun dengan penambahan sumber alam itu sampai ke suatu tingkat maksimum. Melampaui batas maksimum ini tak akan ada pengaruh yang menguntungkan lagi.
Untuk semua kategori sumber alam (kecuali keanekaragaman dan waktu) kenaikan pengadaannya yang melampui batas maksimum , bahkan akan berpengaruh merusak karena kesan peracunan. Ini adalah asas penjenuhan. Untuk banyak gejala sering berlaku kemungkinan penghancuran yang disebabkan oleh pengadaan sumber alam yang sudah mendekati batas maksimum.
Pengertian :
Asas ini dapat dijelaskan dengan gambar, dimana batas suhu maksimum membatasi kegiatan hidup dalam sistem biologi :
Asas 4 tersebut terkandung arti bahwa pengadaan sumber alam mempunyai batas optimum, yang berarti pula batas maksimum, maupun batas minimum pengadaan sumber alam akan mengurangi daya kegiatan sistem biologi.

5. Ada dua jenis sumber alam dasar, yaitu sumber alam yang pengadaannya dapat merangsang penggunaan seterusnya, dan yang tak mempunyai daya rangsang penggunaan lebih lanjut.
Pengertian :
Ada 2 hal pada asas 5 ini. Di suatu pihak dapat kita bayangkan suatu keadaan atau situasi, dengan jenis sumber alam tidak menimbulkan rangsangan untuk penggunaan lebih lanjut. Di pihak lain dapat juga kita bayangkan adanya paling sedikit dua situasi yang mempunyai kesan merangsang itu.

6. Individu dan spesies yang mempunyai lebih banyak keturunan dari pada saingannya, cenderung berhasil mengalahkan saingannya.
Pengertian :
Asas ini aalah pernyataan teori Darwin dan Wallace. Pada jasad hidup terdapat perbedaan sifat keturunan dalam hal tingkat adaptasi terhadap faktor lingkungan fisik atau biologi. Kemudian timbul kenaikan kepadatan populasinya sehingga timbul persaingan. Jasad hidup yang kurang mampu beradaptasi yang akan kalah dalam persaingan. Dapat diartikan pula bahwa jasad hidup yang adaptif akan mampu menghasilkan banyak keturunan daripada yang non-adaptif.

7. Kemantapan keanekaragaman suatu komunitas lebih tinggi di alam yang “mudah diramal”.
Pengertian :
Mudah diramal pada asas 7 ini maksudnya adalah adanya keteraturan yang pasti pada pola faktor lingkungan pada suatu periode yang relatif lama. Terdapat fluktuasi turun-naiknya kondisi lingkungan di semua habitat, tetapi mudah dan sukarnya untuk diramal berbeda dari satu habitat ke habitat lain. Dengan mengetahui keadaan optimum pada faktor lingkungan bagi kehidupan suatu spesies, maka perlu diketahui berapa lama keadaan tersebut dapat bertahan.

8. Sebuah habitat dapat jenuh atau tidak oleh keanekaragaman takson, bergantung kepada bagaimana nicia dalam lingkungan hidup itu dapat memisahkan takson tersebut.
Pengertian :
Kelompok taksonomi tertentu dari suatu jasad hidup ditandai oleh keadaan lingkungannya yang khas (nicia), tiap spesias mempunyai nicia tertentu. Spesies dapat hidup berdampingan dengan spesies lain tanpa persaiangan, karena masing-masing mempunyai keperluan dan fungsi yang berbeda di alam.

9. Keanekaragaman komunitas apa saja sebanding dengan biomasa dibagi produktivitas.
Pengertian :
Asas ini mengandung arti, bahwa efisiensi penggunaan aliran energi dalam sistem biologi akan meningkat dengan meningkatnya kompleksitas organisasi sistem biologi dalam suatu komunitas.

10. Pada lingkungan yang stabil perbandingan antara biomasa dengan roduktivitas (B/P) dalam perjalanan waktu naik mencapai sebuah asimtot.
Pengertian :
Sistem biologi menjalani evolusi yang mengarah kepada peningkatan efisiensi penggunaan energi dalam lingkungan fisik yang stabil, dan memungkinkan berkembangnya keanekaragaman.

11. Sistem yang sudah mantap (dewasa) mengekploitasi yang belum mantap (belum dewasa).
Pengertian :
Asas 11 ini mengandung arti ekosistem, populasi atau tingkat makanan yang sudah dewasa memindahkan energi, biomasa, dan keanekaragaman tingkat organisasi ke arah yang belum dewasa. Dengan kata lain, energi, materi, dan keanekaragaman mengalir melalui suatu kisaran yang menuju ke arah organisasi yang lebih komplek. Dari subsistem yang rendah keanekaragaman nya ke subsistem yang tinggi keanekaragamannya.

12. Kesempurnaan adaptasi suatu sifat atau tabiat bergantung pada kepentingan relatifnya dalam keadaan suatu lingkungan.
Pengertian: :
Populasi dalam ekosistem yang belum mantap, kurang bereaksi terhadap perubahan lingkungan fisiko-kimia dibandingkan dengan populasi dalam ekosistem yang sudah mantap. Populasi dalam lingkungan dengan kemantapan fisikokimia yang cukup lama, tak perlu berevolusi untuk meningkatkan kemampuannya beradaptasi dengan keadaan yang tidak stabil.

13. Lingkungan yang secara fisik mantap memungkinkan terjadinya penimbunan keanekaragaman biologi dalam ekosistem yang mantap, yang kemudian dapat menggalakkan kemantapan populasi lebih jauh lagi.
Pengertian :
Pentingnya memperluas ruang lingkup ekologi murni menjadi ilmu lingkungan yang memiliki batasan lebih luas.

14. Derajat pola keteraturan naik-turunnya populasi tergantung pada jumlah keturunan dalam sejarah populasi sebelumnya yang nanti akan mempengaruhi populasi itu.
Pengertian :
Asas 14 ini merupakan kebalikan asas 13, tidak adanya keaneka ragaman yang tinggi pada rantai makanan dalam ekosistem yang belum mantap, menimbulkan derajat ketidak stabilan populasi yang tinggi.

Rabu, 07 Mei 2014

Resimen Mahasiswa

Resimen Mahasiswa


Resimen Mahasiswa (disingkat menwa) adalah salah satu kekuatan sipil yang dilatih dan dipersiapkan untuk mempertahankan NKRI sebagai perwujudan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Markas komando Menwa bertempat diperguruan tinggi di kesatuan masing-masing yang anggotanya adalah mahasiswa atau mahasiswi yang berkedudukan di kampus tersebut. Menwa merupakan komponen cadangan pertahanan negara yang diberikan pelatihan dasar militer seperti penggunaan senjata, taktik pertempuran, survival, terjun payung, bela diri militer, senam militer, penyamaran, navigasi dan sebagainya.
Anggota menwa (wira) di setiap perguruan tinggi atau kampus membentuk satuan-satuan yang merupakan salah satu bagian organisasi mahasiswa / mahasiswi di unit kegiatan mahasiswa (UKM). Menwa diberikan wewenang dan tanggung jawab yang berbeda dengan UKM lain dan berada langsung dibawah rektorat.

Lambang

 

  • Bintang di kanan atas dihadapan burung garuda dengan sayap kanan 6 (enam) dan kiri 7 (tujuh), leher 59 dan ekor enam dengan warna kuning emas dan melirik ke sebelah kanan.
  • Di tengah-tengah di depan burung garuda terdapat simbul silang senjata pena dalam genggaman burung garuda dengan warna putih.
  • Pita yang melandasi dengan warna putih dengan tulisan di tengah warna merah “ Widya Castrena Dharma Siddha”.
  • Perisai yang menjadi alas warna hitam.

Makna

  • Bintang di kanan berarti cita-cita yang luhur, baik dan benar.
  • Bulu sayap berjumlah 13, ekor 6 dan leher 59 (13 Juni 1959 = tahun kelahiran resimen mahawarman).
  • Perisai berarti sebagai komponen pertahanan Negara.

Komponen Lambang Sembilan Unsur

  • Perisai Segilima menggambarkan keteguhan sikap
  • Padi dan Kapas menggambarkan dasar bernegara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
  • Bintang, Sayap Burung, Jangkar dan Lambang Polri menandakan bahwa Resimen Mahasiswa berada di bawah naungan ketiga unsur angkatan dan Polri
  • Pena dan Senjata melambangkan pengabdiannya, wira melakukan keselarasan antara ilmu pengetahuan dan ilmu keprajuritan.
  • Buku Tulis menyatakan bahwa tugas pokok setiap wira adalah mengembangkan ilmu pengetahuan, selain melaksanakan tugas-tugas kemenwaan.

Warna Kebanggaan

Resimen Mahasiswa Indonesia menggunakan baret ungu. Dalam aplikasinya di lingkungan Menwa, warna ini mempunyai arti :
  • Mulia
  • Berpengetahuan
  • Terpelajar

Panca Dharma Satya

Panca Dharma Satya adalah janji Resimen Mahasiswa Indonesia :
  1. Kami adalah mahasiswa warga Negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
  2. Kami adalah mahasiswa yang sadar akan tanggung jawab serta kehormatan akan pembelaan negara dan tidak mengenal menyerah.
  3. Kami Putra Indonesia yang berjiwa ksatria dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.
  4. Kami adalah mahasiswa yang menjunjung tinggi nama dan kehormatan Garba Ilmiah dan sadar akan hari depan Bangsa dan Negara.
  5. Kami adalah mahasiswa yang memegang teguh disiplin lahir dan batin, percaya pada diri sendiri dan mengutamakan kepentingan Nasional di atas kepentingan pribadi maupun golongan.

Semboyan

Semboyan Resimen Mahasiswa Indonesia adalah "Widya Çastrena Dharma Siddha", berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "Penyempurnaan Pengabdian Dengan Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Keprajuritan". Yang dimaksudkan oleh Ilmu Pengetahuan adalah segala macam cabang keilmuan yang didapat saat menjadi mahasiswa. Hal ini dipergunakan untuk menempuh jenjang karier, dengan tidak melupakan tujuan utama melakukan pengabdian pada masyarakat.
Sedangkan Ilmu Keprajuritan adalah yang bersangkutan dengan jiwa keperwiraan, keksatriaan serta kepemimpinan, bukan sekadar keahlian dalam bertempur atau pun yang sejenis.

Sejarah

Tanggal 13 Juni - 14 September 1959 diadakan wajib latih bagi para mahasiswa di Jawa Barat. Mahasiswa yang memperoleh latihan ini siap mempertahankan NKRI bersama TNI guna mencegah semua ancaman dan siap melakukan pertempuran dengan menggunakan senjata. Mahasiswa-mahasiswa walawa (WAJIB LATIH) dididik di Kodam VI/ Siliwangi dan para walawa diberi hak mengenakan lambang Siliwangi. Walawa dipersiapkan sebagai perwira cadangan untuk mendukung TNI bila terjadi keaadaan genting pada NKRI.
Pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta, Komando Pimpinan Besar Revolusi Presiden RI Bung Karno mencetuskan Trikora. Seluruh rakyat menyambut komando ini dengan gegap gempita dengan semangat revolusi untuk merebut Irian Barat; termasuk juga mahasiswa wajib latih (Walawa).
Isi Trikora:
  1. Panjangkan Sangsaka Merah Putih di Irian Barat
  2. Gagalkan Negara Boneka Papua
  3. Adakan Mobilisasi Umum
Sejak Trikora bergema maka kewaspadaan nasional makin diperkuat, makin memuncak sehingga timbul rencana pendidikan perwira cadangan di Perguruan Tinggi.
Berdasarkan dua surat keputusan Pangdam VI Siliwangi, maka oleh pihak Universitas pada 20 Januari 1962 dibentuk suatu badan koordinasi yang diberi nama Badan Persiapan Pembentukan Resimen Serba Guna Mahasiswa Dam VI Siliwangi (disingkat BPP) Resimen Mahasiswa DAM VI/ Siliwangi, beranggotakan :
  1. Prof. drg. R. G. Surya Sumantri ( Rektor Unpad) selaku Koordinator
  2. Dr. Isrin Nurdin (Pembantu Rektor ITB) selaku Wakil Koordinator I
  3. Drs. Kusdarminto (PR Unpar) selaku wakil Koordinator II
  4. Major. Moch. Sunarman dari PUS PSYAD pada waktu itu selaku sekretaris.
Pada Februari 1962 diadakan Refreshing Course selama sepuluh minggu di Resimen Induk Infantri dan dilanjutkan dengan latihan selama 14 hari yang dikenal dengan sebutan Latihan Pasopati. Pada 20 Mei 1962 anggota Resimen Mahasiswa Angkatan 1959 dilantik oleh Pangdam VI/SLW menjadi bagian organik dari Kodam VI/SLW.
Dalam rencana kerja empat tahunnya tercantumlah pembentukan kader inti dan ini sudah terlaksana sejak permulaan semester 2 tahun ajaran 1962-1963. termasuk pembentukan kader inti putri. Mahasiswa/i Jabar (Bandung khususnya) mengikuti Latihan di Bihbul, tempat penggodokan prajurit-prajurit TNI. (Sekarang Secaba Dam III/ Slw, Bihbul). Satuan-satuan inti dari Yon mahasiswa dari beberapa universitas dan akademi dikirim ke tempat ini di bawah asuhan pelatih-pelatih dari RINSIL. 12 Juni 1964 keluarlah Surat Keputusan Menteri Koordinator Komponen Pertahanan dan Keamanan DR. A.H. Nasution Jenderal TNI yang mengesahkan Duaja Resimen Mahawarman. Penyerahan Duaja dilakukan oleh Menko sendiri. Garuda Mahawarman resmi berdiri berdampingan dengan Harimau Siliwangi.

Nama Skomen (Menwa di Tingkat Provinsi) di Republik Indonesia

  • Resimen Mahasiswa Darussalam (Men Mahadasa)Prov. Aceh
  • Resimen Mahasiswa Sumatera Utara (Men Mahatara) Prov. Sumatera Utara
  • Resimen Mahasiswa Pagaruyung (Men Maharuyung) Prov. Sumatera Barat
  • Resimen Mahasiswa Indra Pahlawan Prov. Riau
  • Resimen Mahasiswa Bahari (Men Mahabahari)Prov.Riau Kepulauan
  • Resimen Mahasiswa Dwi Yudha (Men Mahadwiyudha)Prov.[Bengkulu]]
  • Resimen Mahasiswa Sultan Taha Prov. Jambi
  • Resimen Mahasiswa Sriwijya (Men Mahawijaya) Prov. Sumatera Selatan
  • Resimen Mahasiswa Raden Intan (Men Maharatan) Prov. Lampung
  • Resimen Mahasiswa Jayakarta (Men Jayakarta) DKI Jakarta
  • Resimen Mahasiswa Mahawarman (Men Mahawarman) Prov. Jawa Barat
  • Resimen Mahasiswa Banten (Men Mahabanten) Prov. Banten
  • Resimen Mahasiswa Mahadipa (Men Mahadipa) Prov. Jawa Tengah
  • Resimen Mahasiswa Yogyakarta (Men Mahakarta) Daerah Istimewa Yogyakarta
  • Resimen Mahasiswa Mahasurya (Men Mahasurya)Prov. Jawa Timur
  • Resimen Mahasiswa Ugracena (Men Ugracena) Prov. Bali
  • Resimen Mahasiswa Tanjungpura (Men Mahapura) Prov. Kaliomantan Barat
  • Resimen Mahasiswa Palangkaraya (Men Maharaya) Prov. Kalimantan Tengah
  • Resimen Mahasiswa Suryanata (Men Mahanata) Prov. Kalimantan Selatan
  • Resimen Mahasiswa Mulawarman (Men Mulawarman) Prov. Kalimanan Timur
  • Resimen Mahasiswa Sam Ratulangi (Men Mahasamra) Prov. Sulawesi Utara dan Prov.Gorontalo
  • Resimen Mahasiswa Pawana Çakti (Men Mahapati) Prov. Sulawesi Tengah
  • Resimen Mahasiswa Wolter Monginsidi (Men Wolter Monginsidi) Prov. Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat
  • Resimen Mahasiswa Halu Oleo (Men Mahaleo)Prov. Sulawesi Tenggara
  • Resimen Mahasiswa Maluku (Men Mahamaku)Prov.Maluku dan Maluku Utara
  • Resimen Mahasiswa Cendrawasih (Men MahaCandra)Prov. Papua
  • Resimen Mahasiswa Wira Dharma (Men MahaDharma, eks Prov. Timor Timur, sampai 10 Oktober 2004 belum dibubarkan)
  • Resimen Mahasiswa Nusa Cendana (Men Mahadana) Prov. Nusa Tenggara Timur
  • Resimen Mahasiswa Rinjani (Men Mahajani) Prov. Nusa Tenggara Barat
  • Resimen Mahasiswa Rimba Raya Prov. Gorontalo